Penulis Belanda menyebutkan bahwa abad ke-15 dan 16 merupakan ‘masa gelap’ sejarah Palembang, karena mereka tidak mendapatkan catatan sejarah Palembang dalam kurun waktu tersebut. Sebaliknya, penduduk setempat mempunyai catatan historiografi tradisional mereka, baik yang tercatat di atas lontar ataupun potongan bambu bahkan cerita leluhur.
Menurut Raymond Williams dalam buku ‘Sejarah Lokal di Indonesia’ (Taufik Abdullah), historiografi tradisional pada umumnya memperlihatkan apa yang disebut the myth of concern, yang berfungsi bagi kemantapan nilai dan taat. Keseimbangan dan kewajaran kosmos adalah tujuan utama.
Dengan demikian historiografi tradisional harus selalu memberikan kesahan bagi struktur yang selalu mendukung tuntutan kultural. Struktur tersebut bisa diwakili oleh raja, bangsawan atau kelas pemelihara atau semua, yang penting ialah kemantapan kosmos.
Bagi daerah Sumatera Selatan, umumnya struktur ini diwakili dengan tokoh puyang, sebagai tokoh nenek moyang pendiri suku, wilayah dan kekuasaan setempat. Tokoh puyang ini dalam cerita tutur dan catatan setempat menjadi mitos dan legenda setempat.
Menurut O.W.Wolters (History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspective), tokoh puyang tidak hanya ada di Sumatera Selatan, tetapi juga merupakan kebudayaan Asia Tenggara.
Apa yang diyakini di kalangan penduduk Melayu di Sumatera Selatan sangat lah unik, bahwa puyang mereka adalah setidaknya keturunan Majapahit, bahkan dari Kediri dan Singasari. Disamping itu, mereka juga mengakui keterkaitannya dengan garis keturunan Sekandar Alam atau Iskandar Alam (Iskandar Zulkarnain) di Bukit Siguntang.
Pengakuan keturunan Majapahit ini mungkin sekedar kekaguman akan cerita Majapahit. Bahkan Babad Tanah Jawi sangat mempengaruhi persepsi penduduk setempat di sepanjang Batanghari Sembilan, khususnya legenda Aria Damar. Begitu tertanamnya mitos Majapahit, sehingga yang tertinggal sampai saat ini di Sumatera Selatan adalah legenda-legenda yang berkaitan dengan Majapahit.
Dalam kenyataan sejarah, Majapahit tidak meninggalkan bukti-bukti yang jelas di wilayah Sumatera Selatan, apakah berupa prasasti ataupun nama-nama tempat. Sedangkan Sriwijaya yang lebih tua kurun waktunya dari Majapahit, masih ada peninggalan prasasti-prasastinya, demikian pula nama-nama tempat (toponim). Demikian pula dengan bahasa Melayu Tua atau bahasa Sriwijaya yang terus dikembangkan di Nusantara melalui peningkatannya di kerajaan Melayu Malaka.
Wallahu a’lam
(Visited 48 times, 1 visits today)
Puyang sebagai Asal Usul Keturunan