Sultan Iskandar Muda adalah raja Aceh yang terbesar, yang selama masa kekuasaannya (1607-36) Aceh menjadi kekuatan utama di bagian barat Nusantara. Tiga perempat bagian surat ini digunakan untuk menggambarkan kebesaran, kekayaan dan kemegahan wilayah Sultan Aceh.
Menginjak bagian pokok surat, Sultan dengan sopan menolak permohonan Inggris untuk berdiam dan berdagang di Tiku dan Pariaman ‘karena negeri itu negeri dusun, lagi jauh dari pada kita’, dan sebaliknya Sultan mengundang Inggris untuk berniaga hanya di Aceh.
Surat ini benar-benar `surat emas’, dan susah mencari kata-kata yang cukup hebat untuk memujinya. Surat ini adalah surat raja dalam bahasa Melayu bersungging yang tertua dan terindah yang terdapat pada koleksi-koleksi di Inggris, sekaligus yang paling besar (tingginya hampir mencapai satu meter) dan paling mengesankan.
Pola hiasan memperlihatkan adanya pengaruh Otoman-Turki (dalam motif bunga madat) dan Safavi-Iran (dalam unwan yang berbentuk kubah berwarna biru), namun dengan penafsiran yang khas pribumi. Kalimat-kalimat ditulis dengan halus dan rapi di atas kertas yang telah ditaburi butir-butir emas. Tulisannya masih dapat dibaca dengan sangat mudah dewasa ini (dibandingkan dengan tulisan tangan berbahasa Inggris dari abad tujuh belas, yang seringkali sukar dibaca kecuali oleh para ahli).
Yang patut dicatat adalah tidak adanya cap kerajaan, meskipun cap raja sudah digunakan di Aceh sejak tahun 1602 (lihat 2). Kepala surat dalam bahasa Arab (Huwa Allah taala), suatu unsur yang penting dalam surat resmi Melayu, ditulis dengan huruf kecil sekali pada ujung atas surat ini.
Wallahu a’lam
***Sumber: Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia; Annabel Teh Gallop & Bernard Arps; Yayasan Lontar
(Visited 482 times, 1 visits today)
Surat Sultan Aceh Iskandar Muda kepada Raja James I, 1615